prinsip universalisme dan prinsip hak-hak dalam etika bisnis



PRINSIP UNIVERSALISME DAN PRINSIP HAK-HAK
DALAM ETIKA BISNIS 
Dosen pengampu : Anas Malik.,M.E.Sy
Sebagai tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam
Yang akan dipresentasikan
 


DISUSUN OLEH:
Kelompok III
Sem. V/Muamalah/F
Nama:              Nur Anisa
NPM:              1421030054


FAKULTAS SYARIAH
IAIN RADEN INTAN
LAMPUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, hidayah, serta Inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk , maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami tentang Prinsip universalisme dan prinsip hak-hak.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi  pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



BandarLampung, 25 Oktober 2016


Penyusun


DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... 2
Daftar Isi ............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
A.    Latar Belakang................................................................................... 4
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 5
C.     Tujuan Pembahasan............................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 6
A.    Pembahasan tentang Prinsip Universalisme....................................... 6
B.     Pembahasan tentang prinsip hak- hak................................................ 8
BAB III PENUTUP........................................................................................... 16
A.    Kesimpulan......................................................................................... 16
B.     Saran................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan. Walaupun kadangkala dianggap sama, etika berbeda dengan moral atau dalam bahasa Latinnya mos yang sebenarnya juga berarti kebiasaan. Franz Magnis-Suseno (1987) membedakan etika dari ajaran moral. Baginya, yang dimaksud dengan ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan maupun terulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber dasarnya adalah tradisi, adat-istiadat, ajaran agama atau ideology tertentu. Sebuah contoh dari ajaran moral dari khazanah budaya Jawa, bagi Franz Magnis-Suseno adalah serat “Wulangreh” yang menjelaskan jalan untuk menjadi manusia yang baik.
Secara universal . prinsip-prinsip etika benar-benar ada sebagai suatu faktum. Misalnya, Poespoprojo (1986) berpendapat, bahwa prinsip-prinsip dasar ketentuan tentang etika hadir dalam semua masyarakat dunia tanpa kecuali dan tanpa perbedaan berdasarkan ras ataupun budaya. Prinsip universalitas etika mengakibatkan timbulnya titik konvergensi berupa keterikatan kepada nilai-nilai yang sama terhadap situasi yang serupa. Penilaian tidak dapat dipilah-pilah menurut selera yang berbeda jika situasi yang dihadapi serupa. Jika masih terdapat perbedaan, niscaya perbedaan itu hanya dalam tingkatan dan bukan dalam substansi. Kecuali jika memang terdapat perbedaan situasional mendasar yang mempengaruhi sikap bathin yang menjadi sumber penilaian etis tadi.
Tanpa perbedaan situasi yang substansional, sesuatu “yang baik” berlaku bagi semua secara universal. Budaya yang berbeda, misalnya, memang mungkin melahirkan relativisme nilai etika seperti yang dikemukakan oleh penganut faham  
kaum sofis.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan Prinsip Universalisme?
2.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan Prinsip Hak-Hak?
C. Tujuan Penulisan
1.      Agar dapat mengetahui yang dimaksud dengan Prinsip Universalisme.
2.      Agar dapat mengetahui yang dimaksud dengan Prinsip Hak-Hak.















BAB II
PEMBAHASAN

A. PRINSIP UNIVERSALISME
            Prinsip universalitas etika mengandung implikasi makna yang baik yang berlaku secara umum dimanapun juga . “yang baik” itu mencerminkan kualitas perbuatan manusia, bahwa pemikiran ataupun tindakannya memiliki nilai yang diterima oleh masyarakat secara objektif. Sebaliknya, makna “yang buruk” pun juga berwawasan umum. Dengan begitu, ukuran “yang baik” maupun “yang buruk” diterima secara umum sehingga menjadi ketentuan atau norma moral.
Dibandingkan dengan norma-norma lain, misalnya norma hukum, maka norma moral tidak memiliki kekuatan pemaksa (enforcement) entah berupa denda ataupun hukuman penjara. Kekuatan berlaku norma moral terletak kepada kesadaran bathiniah pelaku. Fransz Magnis-Suselo (1979) yang menggunakan istilah fenomena kesadaran moral berupa semua hal yang muncul , nampak atau terkandung dalam kesadaran moral. Bagi Kant (1724-1804), kesadaran moral ialah “kehendak baik” (goodwill). “Kehendak baik” ini bersifat dominan dan berguna dalam memberikan arahan terhadap peran akal yang lain seperti kecerdasan, keberanian serta kemampuan menilai. Tanpa “kehendak baik”, segala kualitas kemampuan akal manusia dapat berubah menjadi sangat buruk dan berbahaya.
Kant sangat terpengaruh oleh keteraturan alam maupun oleh norma moral yang ada dalam dirinya sebagai hasil kesadaran dari bathin manusia. Kesadaran etis ini menimbulkan rasa kewajiban, dan sebagai akibatnya , maka manusia harus patuh tanpa memiliki pilihan lain. Perbuatan yang baik bagi Kant adalah yang berdasarkan  “kehendak baik” tadi.
Dunia moral bersifat mutlak dan karena itu berlaku tanpa syarat, tanpa memungkinkan adanya pengecualian. Bagi Kant, Inilah yang disebut sebagai “imperative kategoris” (categorical imperative) yang berlaku tanpa mempedulikan akibat yang mungkin timbul. Kebalikannya ialah hypothetical imperative yang berlaku demi mengejar suatu tujuan akhir.
Tujuan akhir ialah guna mendatangkan kebaikan manusia. Aristoteles lebih jauh mengungkapkan, bahwa tujuan puncak akhir manusia ialah kebahagiaan atau eudaimonia yang disebutnya sebagai summum bonum (the supreme end of life). Demi pencapaian tujuan akhir inilah lahir bermacam-macam aliran dalam sejarah etika. Aristoteles, yang dilahir kan di Stageira di wilayah kerajaan Macedonia dalam tahun 384 SM adalah murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung. [1]
Secara singkat prinsip Universalisme berbeda dengan pandangan utilitarian yang menekankan aspek hasil suatu keputusan, universalisme memfokuskan diri pada tujuan suatu keputusan atau tindakan. Prinsip kunci dari universalisme adalah prinsip Kant tentang imperative kategoris yang terdiri dari: Pertama, seseorang harus memilih untuk bertindak, hanya jika ia berkemauan untuk memberi kesempatan setiap orang dimuka bumi dalam situasi yang sama untuk membuat keputusan yang sama dan bertindak dengan cara yang sama. Kedua, orang lain harus diperlakukan sebagai tujuan , tidak semata sebagai alat untuk mencapai tujuan.Sebagai konsekuensi, pendekatan ini memfokuskan diri pada kewajiban yang harus dilakukan seseorang individu terhadap individu lain dan juga terhadap kemanusiaan.
Menurut Kant persoalan universalisme berhubungan dengan yang disebut Kant sebagai “kewajiban”, sehingga hanya ketika kita bertindak berdasarkan kewajiban kita maka tindakan kita bisa disebut bersifat etis. Jika kita bertindak semata-mata karena dorongan perasaan atau kepentingan pribadi, maka tindakan kita tidak memiliki nilai moral sama sekali. [2]
Namun, dengan niat (tujuan) baik semata tindakan yang tidak etis tidak serta merta menjadi bersifat etis. Seperti dikemukakan Yusuf al-Qardawi jika kita kaitkan dengan ajaran Islam, niat (tujuan) baik tidak menjadikan yang haram menjadi bisa diterima. [3]
Pendekatan yang dikedepankan oleh prinsip ini dengan memfokuskan diri pada kewajiban yang harus dilakukan seorang individu terhadap individu lain. Bertindak berdasarkan kewajiban maka disebut etis. Jika seseorang atau organisasi bertindak sesuai dengan persaan atau kepentingan pribadi, maka tindakan tersebut tidak memiliki nilai moral. Kriteria pengambilan keputusan yang berkaitan dengan etika dibuat “berdasarkan kepentingan individu (self interest) dan kebutuhan”.[4]

B. PRINSIP HAK-HAK
Norma moral, terkait pula dengan pengertian hak-hak (rights) yang seringkali diutarakan sebagai argumentasi klaim dalam diskusi, perdebatan, demonstrasi maupun sengketa seperti umpamanya sengketa mengenai hak-hak pekerja. Seringkali terdengar klaim para pekerja betapa hak-hak mereka tidak dipenuhi, dan karena itu mereka merasa berhak berdemonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka.
Dalam bidang bisnis, seringkali para pekerja merasa berhak atas upah yang memadai, sedangkan para manager pun merasa berhak untuk menjalankan roda bisnis berdasarkan prinsip-prinsip ilmu manajemen. Para konsumen juga seringkali merasa berhak untuk memperoleh produk yang baik dengan harga yang pantas. Begitulah, seringkali timbul pertentangan secara hakiki tentang apa sebenarnya hak itu?
Secara umum, hak merupakan status kepemilikan seseorang atas sesuatu benda, jasa maupun karya-cipta intelektual. Orang merasa berhak oleh karena ia merasa memiliki. Biasanya hak-hak timbul sebagai akibat hukum dalam sebuah sistem legal yang baik. Beberapa hak-hak dasar bahkan dijamin oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Adapula hak-hak  yang berlaku universal dan dijamin oleh dunia internasional dibawah peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti Hak Azasi Manusia (HAM) serta hak-hak moral lainnya seperti hak untuk tidak disiksa, hak untuk bebas menyampaikan pendapat dan lain-lain.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan “Universal Declaration Of Human Rights” dalam tahun 1948, yang memberikan ketentuan, bahwa setiap orang berhak untuk:
1.      Memiliki property baik sendiri-sendiri atau bersama-sama pihak lain;
2.      Bebas memilih maupun memiliki pekerjaan dengan kondisi yang adil serta terlindung dari pemerhentian kerja;
3.      Memperoleh upah yang adil dan menyenangkan baik baginya maupun keluarganya;
4.      Atas eksistensinya sebagai manusia yang beradab;
5.      Untuk mendirikan dan begabung dalam serikat buruh;
6.      Untuk beristirahat dan bersantai, termasuk untuk mendapat pembatasan jam kerja maupun memperoleh libur dengan bayaran penuh.
Konsep dari hak selalu terkait dengan konsep dari kewajiban (duty), sehingga dari sudut pandang norma moral keberadaan hak terkait dengan keberadaan kewajiban. Masalah ini perlu dibahas lebih jauh lagi agar dapat memberikan gambaran yang memadai.

1.      Konsep Hak
Beberapa hak tertentu muncul dari kandungan norma moral sehingga juga disebut sebagai mora; rights yang mencerminkan asal hak yang tidak bersumber dari hukum, melainkan dari norma moral. Berbeda dengan hak yang bersumber dari hukum, hak dianggap berlaku secara universal sejauh merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang tanpa peduli kebangsaannya, semata-mata karena keberadaannya  sebagai manusia. Hak pun tidak dibatasi kewenangannya oleh jurisdiksi negara manapun. Hak  untuk tidak boleh disiksa, misalnya merupakan hak setiap orangg tanpa peduli dinegara manapun ia berada dan didalam sistem hukum apapun juga.
Selalu ditemukan, interpretasi yang biasa mengenai hak. Pertama, seringkali terjadi kerancuan pemikiran, seolah-olah hak terjadi, karena ‘tidak dilarang’ untuk melakukan suatu perbuatantertentu, atau untuk memiliki suatu barang tertentu. Orang merasa berhak karena tidak ada  ketentuan hukum maupun ketentuan moral yang melarang. Kedua, hak juga seringkali ditafsirkan sebagai berkuasa untuk melakukan tindakan demi kepentingan dirinya atau kepentingan umum. Seorang petugas merasa berhak karena ia diberi keuasaan, sebagaimana seorang pemilik bangunan berhak atas bangunan miliknya untuk menjual, menyewakan bangunan sesuai kehendaknya. Ketiga, hak pun sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang diberikan atau dialihkan, dihibahkan, diwaruskan kepada seseorang dari pihak lain. Sebagai contoh, negara bisa dan biasa memberikan hak-hak khusus seperti hak kewarganegaraan, hak atas benda, kepangkatan, kehormatan kepada warganegaranya maupun warganegara lain.
Pokok bahasan mengenai hak pada bagian ini dibatasi hanya sepanjang mengenai hak yang terkait dengan larangan sekaligus mengandung kewajiban atau keharusan. hak moral ini mengandung tiga hal mendasar yang akan dibahas lebih lanjut.
Pertama-tama, hak mengimplikasikan juga kewajiban. Hak seseorang timbul karena ada kewajiban atau keharusan pihak lain yang perlu dilaksanakan terhadap orang yang memiliki hak. Hak seseorang juga mengandung arti , bahwa pihak lain dilarang menghalangi orang itu menikmati hak. Dengan demikian, kewajiban atau keharusan merupakan sisi lain dari sebuah mata uang. Hak seseorang berkorelasi dengan kewajiban atau keharusan bagi orang lain supaya membiarkan orang tadi melaksanakan haknya itu.
Kedua, hak memberikan kebebasan bagi siapapun berdasarkan azas kesetaraan dalam mencari kesejahteraan baginya. Orang tidak boleh dihambat kebebasannya, dan orang juga tidak perlu meminta izin guna melaksanakan haknya itu. Contohnya, seseorang yang memilih untuk menganut agama tertentu yang ia yakini terbaik baginya. Orang itu memiliki kebebasan menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai ketentuan agama yang ia anut tanpa memerlukan izin orang lain. Ia juga tidak boleh dilarang untuk menjalankan aturan-aturan agamanya itu.
Ketiga, hak juga memberikan landasan seseorang bertindak sesuai hak itu sebagai justifikasi, dan pihak lain wajib menjaga untuk tidak menghalangi hak itu.siapapun mesti memberikan bantuan sekiranya ada yang ingin membatasi hak orang lain. Misalnya, jika seseorang yang kuat membantu yang lemah dalam mempertahankan hak si lemah, umumnya masyarakat mendukung tindakan sikuat itu dan menerima, bahwa sikuat memang layak membantu si lemah secara moral. Dalam budaya barat, eksistensi hak merupakan esensi yang menunjang keberadaan budaya mereka sehingga perasaan memiliki hak merupakan sesuatu yang inheren.
Secara substansial hak dianggap berbeda dengan prinsip utilitarianisme. Hak didasarkan atas sudut pandang seseorang / individu, dan berbeda dengan pemikiran utilitarianisme yang mementingkan masyarakat luas. Hak bersifat melindungi seseorang terhadap kemungkinan tindakan pihak-pihak lain yang mengancam atau membahayakan pelaksanaan seseorang untuk menikmati haknya. Sedangkan aliran pemikiran utilitarianisme mementingkan manfaat bagi masyarakat luas; sehingga hak seseorang untuk mendapatkan manfaatpun harus diselaraskan dengan hak masyarakat luas untuk memperoleh manfaat. Pada umumnya, pemikiran utilitarianisme kurang memperhatikan hak perorangan jika tidak terkait dengan hak dari masyarakat luas.
Meskipun argumentasi aliran pendukung hak ini bertentangan dengan argumentasi utilitarianisme, dalam beberapa keadaan pengaruh pemikiran utilitarianisme tidak dapat dihindarkan dalam mengedepankan manfaat bagi masyarakat luas sekiranya pelaksanaan hak sangat berdampak negatif bagi masyarakat luas. Misalnya dalam keadaan darurat perang, manfaat masyarakat luas bisa digunakan sebagai dasar mengurangi bahkan meniadakan hak perseorangan, walaupun hanya untuk sementara selama situasi darurat terjadi.
Para pelaku bisnis seringkali membuat perjanjian perikatan secara hukum diantara sesama mereka, yang memberikan hak sekaligus juga kewajiban yang berlaku di antara yang membuatnya. Azas yang dikenal didalam ilmu hukum perdata sebagai azas pacta sunt servanda menyatakan, bahwa dengan melakukan perjanjian perikatan bersama para pihak menyetujui, bahwa perjanjian perikatan itu berlaku sebagai hukum yang berlaku bagi mereka, sehingga pelanggaran yang dilakukan terhadap perjanjian perikatan dapat dikenai sanksi yang juga telah disetujui bersama-sama. Hak maupun kewajiban contractual¸bersal dari perjanjian yang telah dibuat, memang berisikan hak serta menimbulkan kewajiban kepada para pembuatnya. Tanpa perjanjian perikatan itu takkan pernah ada hak maupun kewajiban tadi.
Bisnis modern tidak mungkin berlangsung dengan baik tanpa adanya perjanjian perikatan atau pun kesepakatan diantara para pelaku bisnis. Dalam masyarakat modern, timbul juga banyak sekali hak maupun kewajiban contractual seperti di dalam bisnis. Perkawinan, misalnya, menimbulkan baik hak maupun kewajiban bagi suami istri, termasuk sekiranya dari perkawinan itu mengahasilkan keturunan yang juga bakal memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu mengikuti status dan kedudukannya.
Syarat mutlak yang diperlukan bagi sahnya perjanjian perikatan ataupun kesepakatan, baik dalam bisnis ataupun perbuatan lainnya seperti pada perkawinan , ialah keharusan akan adanya kehendak bebas dan tanpa paksaan apapun dan dari pihak manapun terhadap para pihak yang melakukannya. Ketika seseorang mengikatkan diri terhadap sesuatu tindakan yang kelak akan menghasilkan hak maupun akan menimbulkan kewajiban atas dirinya maupun atas orang lain, orang itu harus dengan penuh kesadaran serta dengan sepenuh hati memiliki kebebasan untuk melakukan tindakan yang dilakukannya itu.
Pemikiran etika yang menjadi landasan berlakunya perjanjian perikatan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Para pihak yang melakukan perjanjian perikatan harus sepenuhnya memahami dengan benar apa yang bakal menjadi konsekuensi dari tindakan yang dilakukan
2.      Tidak boleh ada pihak yang secara sengaja digelapkan dari hal-hal yang harus diketahuinya sebelum ia melakukan perjanjian perkatan (misreprentation);
3.      Tidak boleh ada paksaan, baik secara fisik maupun secara bathin, terhadap para pihak yang melakukan perjanjian perikatan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, serta oleh siapapun juga;
4.      Perjanjian perikatan itu harus secara wajar mampu dilaksanakan oleh manusia, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan menurut hukum positif yang berlaku serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ketertiban umum dan kesusilaan yang baik.
Perjanjian perikatan, baik bisnis maupun lainnya, yang melanggar salah satu atau lebih dari persyaratan landasan etika di atas bisa dinyatakan tidak berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari hak yang berdasarkan hukum akan lebih mudah dilihat dan dirasakan bila dibandingkan dengan hak. Sumber dasar dari hak pun sulit untuk diterima secara luas. Pemikiran aliran utilitarianisme juga dianggap tidak sepenuhnya mampu memberikan dasar argumen yang kuat sebagai jawaban. Pandangan imperatif kategoris Kantian pun tetap mengundang kritik walaupun lebih mampu dalam memberikan dasar pemikiran atas jawaban dari mana hak berasal. Kant hanya berhasil meyakinkan perlunya menjaga martabat seseorang dengan menjaga hak maupun kebebasan orang itu dalam mennetukan pilihannya sebagai sebuah kewajiban yang tak terbantahkan.  [5]
Pendekatan hak  terhadap etika menekankan sebuah nilai tunggal: kebebasan. Agar disebut etis, keputusan-keputusan dan tindakan harus didasarkan pada hak-hak individu yang menjamin kebebasan memilih. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa individu memiliki hak-hak moral yang bersifat tidak dapat ditawar-tawar. Sebagai misal setiap orang Amerika secara hukum dijamin haknya untuk memiliki kebebasan, memiliki martabat dan memilih. Hak-hak ini, pada gilirannya membawa kepada kewajiban yang saling menguntungkan diantara para pemegang hak tersebut. Dengan demikian para pekerja memiliki hak untuk mendapatkan upah yang adil dan lingkungan kerja yang aman. Para majikan memiliki hak untuk berharap agar perdagangannya tetap rahasia dan tidak dibocorkan oleh para pekerjanya.
            Pendekatan hak terhadap etika dapat disalahgunakan. Sejumlah individu mungkin bersikeras mengatakan bahwa hak-hak mereka memiliki prioritas yang lebih tinggi dibanding hak orang lain, dan ketidakadilan akan terjadi. Hak juga membutuhkan pembatasan-pembatasan. Peraturan industri yang menguntungkan masyarakat barangkali masih tetap menginjak-nginjak hak sejumlah individu atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, peraturan industri yang terlalu ketat yang mengharuskan aturan pakaian khusus  tertentu demi alasan keamanan barangkali sebaiknya tidak perlu mengesampingkan kepentingan kaum perempuan muslim untuk berpakaian secara sopan.
            Bertentangan dengan mitos  yang selalu diulang-ulang oleh para orientalis, Islam datang untuk kebebasan. Sebagai contoh, Islam memberi umat manusia kebebasan untuk memlih keyakinannya sendiri . Allah swt. Berfirman dalam Al-Qur’an sbb:
“Tidak ada paksaan dalam beragama : kebenaran telah jelas berbeda dari kesesatan; siapapun yang menolak yang jahat dan percaya kepada Allah swt. Maka ia ttelah berpegang kepada seutas tali yang sangat bisa dipercaya, yang tidak akan pernah putus. Dan Allah maha mendengar dan mengetahui segala sesuatu”.
            Namun demikian, Islam hadir demi keseimbangan dan menolak gagasan mengenai kebebasan tanpa tanggungjawab. Manusia harus bertanggungjawab terhadap tindakannya. Secara intuitas kebebasan terbesar sebenarnya justru diperoleh melalui ketaatan. Bahkan sekali seseorang percaya kepada Allah swt maka ia akan memperoleh berbagai macam kebebasan:
            Islam membebaskan kaum Muslim dari perbudakkan manusia atau apapun kecuali Allah swt. [6]











BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Prinsip universalisme memfokuskan diri pada tujuan suatu keputusan atau suatu tindakan.  Prinsip universalime terdiri dari dua tindakan:
a.       Seseorang harus memilih untuk bertindak
b.      Orang lain diperlakukan sebagai tujuan
Pendekatan yang dikedepankan oleh prinsip ini dengan memfokuskan diri pada kewajiban yang harus dilakukan seorang individu terhadap individu lain.
Sedangkan prinsip hak-hak menekankan  pada nilai tunggal, yaitu kebebasan, agar disebut etis, keputusan-keputusan dan semua tindakan didasarkan pada “hak-hak individu” yang menjamin kebebbasan memilih. Dalam hal ini individu memiliki hak-hak moral yang bersifat tidak dapat di tawar-tawar.

B. SARAN
Semoga dengan makalah yang kami susun , teman-teman semua dapat memahami tentang bagaimana dan apa saja prinsip-prinsip dalametika bisnis , dan penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Dimohon kritik dan sarannya karena sepenuhnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

John Pieris, Nizam Jim. 2007. Etika Bisnis & Good Corporate Governance.
(Jakarta: Pelangi Cendekia).
Ketut Ridjin. 2004.  Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama).
Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Unit penerbit dan percetakan
akademi manajemen perusahaan YKPN).
Rafik Issa Beekun. 2004. Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar).

Sumber internet:

Di akses dari http://gadenk.blogspot.co.id/2012/12/etika-bisnis-dalam-ekonomi-islam-.html?m=1 pada tanggal 1 November 2016, pukul 2:44 PM.

. 






[1]John Pieris, Nizam Jim, Etika Bisnis & Good Corporate Governance, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2008), hlm. 21-23.
[2]Ketut Ridjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm. 29
[3]Di akses dari http://gadenk.blogspot.co.id/2012/12/etika-bisnis-dalam-ekonomi-islam-.html?m=1 pada tanggal 1 November 2016, pukul 2:44 PM.
[4]Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004), hlm.24. 
[5]John Pieris, Nizam Jim, Op Cit., hlm. 44-51.  
[6]Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Unit penerbit dan percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN, 2004) hlm. 46-47. 

Comments